Breaking News

Mafia Tanah di Sorong: Ahli Waris Marga Bewela Cabut Surat Pelepasan Tanah Adat

liputan08.com Sorong, Papua Barat Daya – Konflik agraria kembali mencuat di Sorong setelah Willem RN Buratehi Bewela, ahli waris Tanah Adat Marga Bewela, mencabut secara resmi Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Adat yang pernah ia tandatangani tahun 2013. Langkah ini memicu sorotan terhadap dugaan praktik mafia tanah yang menjerat masyarakat adat Papua.

Tanah yang disengketakan terletak di Tanjung Kasuari (Distrik Maladumes, Kota Sorong), seluas 82.650 m², berbatasan langsung dengan Laut Pasifik. Wilayah ini merupakan tanah ulayat Marga Bewela, bagian dari Suku Malamoi, dan memiliki nilai ekonomi tinggi.

Pada 2013, dua surat pelepasan tanah atas nama Willem muncul, masing-masing untuk luas 82.650 m² dan 48.300 m², dialihkan ke Paulus George Hung, WNA asal Malaysia. Namun, Willem menegaskan bahwa ia tidak pernah ikut mengukur tanah, dan hanya diminta menandatangani dokumen tanpa memahami isi dan konsekuensinya

“Saya hanya disuruh tanda tangan,” ujar Willem dalam surat pencabutan tertanggal 10 Juni 2025

Dalam hukum adat Malamoi, sebagian tanah tersebut sudah dilepas secara sah oleh almarhumah Robeka Bewela (ibu Willem) kepada Drs. Anwar Rachman pada 2003, dan kemudian beralih ke Labora Sitorus pada 2009. Karena itu, pelepasan tanah oleh Willem dianggap tidak sah secara adat, meski secara administratif telah digunakan oleh Paulus Hung (alias Mr. Ching) untuk mengurus izin reklamasi ke Pemerintah Kota Sorong.

Dugaan Mafia Tanah dan Pemalsuan

Willem menuding adanya manipulasi data, dokumen, dan pembayaran dalam proses tersebut. Jika terbukti, kasus ini bisa masuk ranah pidana, termasuk pemalsuan dokumen (Pasal 263 KUHP) dan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata).

Wilson Lalengke, alumni Lemhannas RI, menyatakan bahwa kasus ini menunjukkan lemahnya perlindungan negara terhadap masyarakat adat. Ia menilai tindakan Willem sebagai bentuk perlawanan terhadap mafia tanah yang memanfaatkan kelemahan literasi hukum masyarakat adat.

“Ini pola klasik mafia tanah—menggunakan dokumen administratif bermasalah untuk mengambil tanah adat,” tegas Wilson dalam pernyataannya, Senin, 15 September 2025.

Wilson mendesak aparat hukum segera menindaklanjuti dugaan penipuan, serta meminta BPN dan Pemda Sorong memperketat pengawasan terhadap pelepasan tanah adat.

Surat pencabutan pelepasan tanah oleh Willem telah ditembuskan ke Gubernur, DPRD, BPN, Walikota, dan Lembaga Adat Malamoi. Hal ini menandai bahwa konflik ini tak sekadar persoalan keluarga, melainkan ujian bagi negara dalam melindungi hak masyarakat adat, sebagaimana dijamin Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

“Jika negara terus diam, kita sedang menyaksikan pengkhianatan terhadap konstitusi,” pungkas Wilson.

Tags:

Baca Juga

Rekomendasi lainnya