Breaking News

Guncang PBB dengan Suara Kemanusiaan: Wawancara Eksklusif Liputan08.com bersama Wilson Lalengke di New York

liputan08.com New York, 9 Oktober 2025 — Suasana hangat menyelimuti lobi Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Manhattan, Amerika Serikat, Kamis siang waktu setempat. Beberapa jurnalis internasional masih tampak berdiskusi mengenai pidato menggugah yang baru saja disampaikan oleh seorang jurnalis warga asal Indonesia, Wilson Lalengke, di hadapan peserta Konferensi Komite Keempat PBB.

Pidato yang sarat nilai kemanusiaan dan hukum universal itu, menurut banyak diplomat, menjadi salah satu momen paling reflektif dalam forum tersebut. Suaranya yang lantang menembus dinding ruang konferensi dan menyentuh hati nurani dunia — tepat ketika isu perdamaian global, terutama di Timur Tengah, tengah memasuki babak genting.

Usai menyampaikan pidato bersejarah itu, tim redaksi Liputan08.com berkesempatan mewawancarai Wilson Lalengke melalui sambungan telepon dari Indonesia ke New York, di luar gedung PBB. Dalam wawancara eksklusif ini, alumnus Lemhannas RI dan pemerhati hukum internasional itu berbicara panjang lebar mengenai motivasi, filosofi, serta pesan moral yang ia sampaikan kepada dunia.

Wawancara Eksklusif Liputan08.com bersama Wilson Lalengke

Liputan08.com (L08):
Apa yang melatarbelakangi Bapak hingga memilih untuk menyuarakan isu kemanusiaan di forum sebesar PBB, bukan sekadar dari ruang aktivisme lokal atau media nasional?

Wilson Lalengke (WL):
Saya percaya bahwa suara kemanusiaan tidak boleh dibatasi oleh batas negara atau status diplomatik. Kita hidup di dunia yang saling terhubung. Ketika satu bangsa menderita karena kekerasan atau pelanggaran hak asasi manusia, maka sesungguhnya seluruh umat manusia turut terluka.
Forum PBB adalah simbol dari nurani kolektif dunia. Karena itu, saya ingin mengingatkan bahwa hak untuk hidup, kebebasan, dan martabat adalah hak yang tidak dapat dinegosiasikan — bukan hanya milik bangsa besar, tetapi milik setiap manusia, sekecil apa pun perannya di bumi ini.

L08:
Dalam pidato Anda tadi, Anda menyinggung soal tanggung jawab moral komunitas internasional. Apa pesan utama yang sebenarnya ingin Anda tekankan?

WL:
Pesan utamanya sederhana namun mendalam: diam adalah bentuk keterlibatan dalam kejahatan. Dunia ini sudah terlalu lama membiarkan pelanggaran hak asasi manusia berlangsung dengan alasan politik, ekonomi, atau kepentingan strategis.
Hukum internasional tidak boleh bersifat selektif. Prinsip equality before the law harus berlaku universal — kepada negara kuat maupun lemah. Ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga etika kemanusiaan. Tanpa keberanian untuk menegakkan kebenaran secara adil, kita kehilangan dasar moral peradaban manusia itu sendiri.

L08:
Pidato Anda bertepatan dengan munculnya kabar mengejutkan: adanya kesepakatan awal damai antara Israel dan Palestina. Banyak yang menyebut ini sebagai “efek Lalengke”. Bagaimana Anda menanggapinya?

WL:
Saya tidak berani mengklaim bahwa pidato saya menjadi pemicu langsung. Tapi saya percaya pada resonansi moral. Setiap kata yang tulus keluar dari hati manusia, jika disampaikan di tempat yang tepat dan waktu yang tepat, bisa mengguncang kesadaran banyak orang.
Mungkin ini kebetulan ilahi. Atau mungkin dunia memang sedang menunggu momentum moral untuk mengingatkan mereka bahwa tanpa kemanusiaan, tidak ada diplomasi yang berarti. Saya hanya bagian kecil dari gelombang kesadaran itu.

L08:
Dalam konteks hukum internasional, Anda menyebut beberapa instrumen seperti Deklarasi Universal HAM dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Mengapa kedua dokumen itu penting bagi dunia hari ini?

WL:
Karena kedua instrumen itu adalah fondasi moral dan yuridis dari sistem hukum internasional modern.
Deklarasi Universal HAM tahun 1948 adalah janji dunia pasca-Perang Dunia II bahwa tragedi kemanusiaan tidak boleh terulang. Sedangkan Kovenan 1966 adalah penerjemahan konkret dari janji itu dalam bentuk kewajiban hukum bagi negara.
Masalahnya, banyak negara yang menandatangani, tapi tidak menginternalisasi nilai-nilainya. Itu sebabnya saya katakan di forum PBB: “Mari kita bertindak sekarang.” Dunia tidak membutuhkan janji baru — dunia butuh keberanian untuk menepati janji lama.

L08:
Bagaimana Anda melihat peran jurnalis dan masyarakat sipil dalam konteks perjuangan kemanusiaan global?

WL:
Jurnalis adalah penjaga nurani publik. Ketika media memilih diam, maka kegelapan akan mengambil alih ruang-ruang kebenaran.
Masyarakat sipil juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal nilai-nilai kemanusiaan — bukan hanya di negaranya, tapi juga di panggung global. Perubahan besar dalam sejarah selalu dimulai dari keberanian satu suara yang menolak tunduk pada ketidakadilan.
Saya berharap semakin banyak jurnalis dan aktivis yang menyadari bahwa pena dan mikrofon mereka punya kekuatan lebih besar daripada peluru.

L08:
Terakhir, apa pesan Anda untuk generasi muda Indonesia dan dunia?

WL:
Bangunlah kesadaran bahwa menjadi manusia berarti memiliki tanggung jawab terhadap sesama. Jangan hanya bangga karena menjadi warga negara Indonesia, tapi banggalah karena menjadi bagian dari umat manusia yang menjunjung tinggi keadilan dan kasih sayang.
Kemanusiaan adalah bahasa universal. Bila kita mampu berbicara dengan bahasa itu, dunia akan lebih damai, lebih beradab, dan lebih manusiawi.

Refleksi Penutup

Pidato dan wawancara Wilson Lalengke ini bukan sekadar momentum diplomasi, melainkan peneguhan kembali tentang arti menjadi manusia di tengah dunia yang kian terpolarisasi oleh kekuasaan.

Ketika dunia memperdebatkan siapa yang benar dan siapa yang salah, Wilson Lalengke mengingatkan kita bahwa yang paling penting adalah siapa yang masih punya hati.

Tags: , ,

Baca Juga

Rekomendasi lainnya