Breaking News

Mafia Tanah dan Krisis Keadilan Agraria: Saat Negara Kehilangan Makna dari Pasal 33 UUD 1945

Liputan08.com – Di banyak wilayah Indonesia terutama di pedesaan, keluhan seperti “tanah kami hilang, tapi kami tidak tahu kapan” semakin sering terdengar. Kalimat sederhana itu mencerminkan tragedi sosial yang kompleks: hilangnya ruang hidup masyarakat akibat praktik mafia tanah yang merajalela, serta lemahnya peran negara dalam melindungi hak konstitusional warga.

Fenomena mafia tanah bukan sekadar praktik penipuan individual. Ia adalah bentuk kejahatan terorganisasi yang melibatkan jejaring oknum dari berbagai institusi — mulai dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), notaris, hingga perangkat pemerintahan di tingkat desa. Dalam banyak kasus, sertifikat ganda atau surat kuasa palsu digunakan untuk mengalihkan kepemilikan tanah tanpa sepengetahuan pemilik sah. Ironisnya, praktik ini kerap dilakukan dengan dukungan dokumen resmi dan tanda tangan pejabat berwenang.

Penelitian Iwan Permadi dari Universitas Brawijaya (2024) menegaskan bahwa lemahnya integritas aparat menjadi faktor utama sulitnya pemberantasan mafia tanah. Ketika pejabat publik yang seharusnya menjadi penjaga keadilan justru terlibat dalam praktik manipulatif, maka hukum berubah menjadi instrumen kekuasaan, bukan alat keadilan.

Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN menunjukkan, antara 2018 hingga 2020 terdapat lebih dari 180 kasus konflik tanah yang terkait langsung dengan praktik mafia tanah. Angka ini meningkat signifikan setelah 2021, terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan yang menjadi target ekspansi industri dan investasi. Pola yang muncul berulang: tanah petani beralih fungsi tanpa persetujuan, sementara pemilik sah diintimidasi atau dikriminalisasi saat mempertahankan haknya.

Negara yang Absen dari Tanahnya Sendiri

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun dalam praktik, penguasaan itu sering kali berubah menjadi pembiaran. Negara seakan kehilangan makna dari kalimat konstitusional tersebut.

Kasus-kasus sertifikat ganda dan manipulasi data pertanahan menunjukkan lemahnya pengawasan internal di tubuh BPN. Dalam sejumlah penelitian hukum, ditemukan bahwa satu bidang tanah dapat memiliki dua sertifikat yang sah secara administratif — satu milik pemilik asli, dan satu lagi milik pihak yang memperoleh sertifikat melalui jalur ilegal. Dalam kondisi seperti ini, hukum justru memberi legitimasi pada ketidakadilan.

Petani yang kehilangan tanah bukan hanya kehilangan aset ekonomi, tetapi juga identitas sosial dan kulturalnya. Mereka kehilangan ruang untuk bertani, tempat tinggal, bahkan hubungan dengan warisan leluhur. Upaya hukum kerap menemui jalan buntu karena mafia tanah memiliki sumber daya, jaringan, dan akses ke kekuasaan yang jauh lebih besar.

Dalam banyak kasus, proses hukum berakhir dengan vonis “tidak cukup bukti”, sebab surat-surat palsu telah dilegalisasi oleh pejabat resmi. Keadaan ini menunjukkan betapa rumitnya membuktikan kebenaran dalam sistem hukum yang korup secara struktural.

Ada dua faktor utama yang dimanfaatkan mafia tanah: birokrasi yang korup dan rendahnya literasi hukum masyarakat. Banyak warga desa tidak memahami pentingnya pendaftaran tanah secara resmi, sehingga menjadi sasaran empuk bagi pihak yang memanfaatkan celah administrasi.

Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang dicanangkan pemerintah sebenarnya merupakan langkah positif, tetapi implementasinya belum sepenuhnya bebas dari penyimpangan. Dalam beberapa daerah, program ini justru disusupi praktik ilegal yang berujung pada penerbitan sertifikat palsu.

Mengakhiri praktik mafia tanah tidak cukup dengan menegakkan hukum secara formalistik. Diperlukan langkah moral dan politik yang konkret. Pemerintah harus berani menindak tegas pejabat publik yang terlibat, bukan sekadar memberi sanksi administratif, melainkan menjerat mereka dengan pidana sesuai prinsip equality before the law.

Selain itu, pemberdayaan masyarakat desa menjadi kunci. Edukasi hukum harus diintensifkan agar warga memahami hak kepemilikan dan prosedur administrasi pertanahan. Penggunaan aplikasi seperti Sentuh Tanahku dari BPN dapat menjadi sarana edukatif untuk memeriksa status tanah secara mandiri.

Transparansi juga harus dijadikan prinsip dasar pemerintahan desa dan BPN. Setiap transaksi, peralihan, atau pendaftaran tanah perlu diumumkan secara terbuka untuk publik guna mencegah manipulasi.

Kasus mafia tanah merupakan cermin dari rapuhnya sistem hukum dan lemahnya integritas birokrasi kita. Negara tidak boleh lagi bersikap pasif. Tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan bagian dari hak asasi dan simbol kedaulatan rakyat.

Selama praktik mafia tanah masih dibiarkan, maka setiap hektare lahan rakyat berpotensi menjadi ajang perampasan legal. Sudah saatnya pemerintah menegakkan kembali makna sejati Pasal 33 UUD 1945 — bahwa bumi dan tanah Indonesia harus dikuasai oleh negara, bukan oleh jaringan mafia yang mengatasnamakan negara.

 

Oleh: Nafisha Tu Najla

Tags:

Baca Juga

Rekomendasi lainnya