Breaking News

Gedung DPRD Bogor: Tempat di Mana Anggota Lebih Sulit Ditemukan dari Sinyal di Gunung

Catatan Satir Seorang Jurnalis yang Kedinginan di Kantor DPRD

liputan08.com Cibinong, Rabu, 17 September 2025 — Matahari pagi bersinar cerah, langit biru tanpa awan, seperti harapan rakyat yang ingin melihat wakilnya bekerja keras di bawah langit demokrasi. Dengan semangat seperti reporter sebut saja saya Zakar, Jurnalis dari Bogor Media Liputan fokus yang dikenal dengan tagline: “Kabar Nyata Tapi Ngenes” saya berangkat menuju gedung megah nan penuh harapan: Kantor DPRD Kabupaten Bogor.

Jam menunjukkan11.30 WIB ketika saya tiba. Gedungnya berdiri kokoh, bendera Merah Putih berkibar gagah, taman tertata rapi bak persiapan kontes bunga agustusan tingkat RW. Dalam hati saya membatin:
“Wah, pasti sedang ramai. Anggota dewan sedang sibuk berdiskusi panas demi kepentingan rakyat.”

Ternyata…

Begitu saya masuk, udara dingin menyeruak bukan karena semangat pengabdian yang membeku, tapi karena AC menyala sekencang niat waktu awal kampanye. Dingin dan menusuk, seperti komentar netizen saat ada pejabat bikin ulah. Udara itu menyapa saya dengan lirih:
“Selamat datang di rumah rakyat… yang rakyatnya jarang datang dan penghuninya lebih jarang lagi.”

Langkah kaki saya menggema di lorong yang… sunyi. Bukan karena karpet tebal ala hotel bintang lima, tapi karena memang tak ada siapa-siapa.

Saya melihat ruang rapat terbuka, meja panjang mengilap, kursi-kursi berbaris rapi, dan satu di antaranya berputar perlahan seperti sedang melamun. Seolah ingin ditanya:
“Kenapa saya sendiri di sini, Bang?”

Saya berkeliling.
Ruang fraksi? Kosong.
Ruang rapat? Sepi.
Ruang kopi? Hanya ada kopi sachet expired dan gelas plastik yang menganggur.

Sesekali tampak satu-dua staf melintas cepat seperti hantu shift malam: datang tiba-tiba, hilang entah ke mana. Mereka bahkan berjalan dengan langkah ninja, agar tidak ketahuan siapa pun… termasuk Tuhan, mungkin.

Saya akhirnya memberanikan diri bertanya pada salah satu staf yang wajahnya penuh teka-teki seperti pemain sinetron pukul 14.00 yang belum selesai syuting.

“Pak, anggota dewan-nya di mana ya?”

Beliau menatap saya, lalu menatap tembok, kemudian menatap lantai, lalu menjawab dengan penuh misteri:

“Lagi di luar mungkin Mas.”

Saya hanya bisa mengangguk.
Sebagai jurnalis, saya harus netral.
Tapi sebagai rakyat, saya mulai bertanya-tanya:
“Gedung ini untuk siapa, kalau bukan untuk rakyat bertemu wakilnya?”

Momen Mistis: Ketika Nurani Menyelinap Lewat Celah Pintu

Pencarian saya membawa ke sebuah ruangan tertutup rapat.
Tak ada nama di pintunya, hanya ada tulisan samar bekas label: “Ruang Aspirasi (Dulunya).”

Saya tempelkan telinga.
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam:

“Haa… Aaah…”

Saya langsung merinding.
Apakah ini suara aspirasi rakyat yang mendesah karena tak kunjung didengar?
Atau… jangan-jangan ini ruang meditasi nurani para wakil rakyat?

Saya ketuk pelan.
Tok… tok… tok.
Tidak ada jawaban.
Saya buka perlahan.

Ruangan terang. AC menyala seperti pabrik es.
Ada sajadah terbentang… di atas meja.
Ada air mineral setengah isi.
Tapi tidak ada manusia.
Cuma ada AC yang menyala walau sudah tak dibutuhkan.

Saya terdiam.
Spontan baca Ayat Kursi.
Lalu iseng ambil wudhu dan salat dua rakaat di sana—siapa tahu ini tempat bertafakur nurani, atau ruang pemurnian janji kampanye.

Akhir Pencarian: Satpam dan Jawaban Langit

Saya kembali ke lobi.
Di sana berdiri seorang satpam, kokoh dan tenang, seperti tugu demokrasi yang menolak roboh.

Saya dekati dengan sopan, lalu bertanya:

“Pak, anggota dewan-nya ke mana ya? Kok sepi banget?”

Ia menatap jendela, seperti sedang menyusun puisi.
Pandangan kosong, namun sarat makna.
Lalu ia berkata pelan:

“Mungkin lagi reses, Mas… atau kunjungan lapangan… atau… ya begitulah. Biasanya rame sih… pas Rapat atau Pemilu deket-deket.”

Saya tercenung.

Gedung besar, listrik menyala, AC dingin seperti sikap keadilan yang menggigil.
Tapi penghuninya… entah di mana.

Saya merenung dalam hati.
Mungkin mereka memang sedang menyatu dengan rakyat.
Tapi kalau begitu, kenapa gedungnya tetap menyala seperti disiapkan untuk acara TV yang tak jadi tayang?

Apakah ini rumah rakyat, atau hanya rumah konsep, seperti rumah contoh di brosur properti—cantik, lengkap, tapi tak pernah benar-benar ditinggali?

Catatan Penutup: Antara AC dan Nurani

Saya menulis laporan ini dengan satu kalimat penutup yang terus berputar di kepala, bahkan lebih konsisten dari rapat paripurna yang sering molor:

“Ketika rakyat datang mencari wakilnya, yang mereka temukan hanya AC yang dingin dan ruang yang hampa. Lalu, gedung ini sesungguhnya untuk siapa?”

Catatan: Cerita ini adalah kisah nyata, dengan bumbu satir secukupnya, seperti garam di nasi goreng. Bila Anda merasa tersindir, mungkin karena Anda masih punya hati nurani yang belum expired.

Tulisan ini bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk mengingatkan—bahwa rakyat masih berharap.
Mereka percaya… meski kadang, harapan itu seperti AC: dingin, menyala terus, tapi tak pernah memeluk.

TAMAT.

Tags:

Baca Juga

Rekomendasi lainnya