Breaking News

Penerapan SPMB untuk Sekolah Dinilai Ciptakan Kasta Pendidikan, Dosen dan Orang Tua Kritik Tajam Sistem Seleksi Baru

Liputan08.com – 2 Juni 2025. Penerapan Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) sebagai syarat masuk ke jenjang sekolah berikutnya mulai menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari akademisi dan praktisi hukum pendidikan, Dr. Dian Assafri Nasa’i, SH, MH, yang juga dosen di Universitas Pancasila.

Saat ditemui di sela kesibukannya mengajar, Senin (2/6/2025), Dr. Dian menilai sistem seleksi berbasis akademik seperti SPMB justru bisa menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Ia menekankan bahwa sistem semacam ini belum layak diterapkan jika belum ada pemerataan kualitas pendidikan dan guru di seluruh Indonesia.

“Jika SPMB ini dijalankan secara nasional, kita harus bertanya: bagaimana nasib siswa yang tidak lolos tes? Siapa yang bertanggung jawab atas kegagalan tersebut? Bukankah mereka sebelumnya diajar oleh guru-guru yang digaji oleh negara dari uang rakyat dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa? Kalau ada siswa tidak lolos, bukankah itu menjadi indikator kegagalan sistem sebelumnya? Sistem ini hanya akan melanggengkan kasta-kasta pendidikan, membagi sekolah menjadi unggulan dan non-unggulan, seolah-olah anak pintar hanya layak belajar di sekolah tertentu,” tegas Dr. Dian.

“Sudah saatnya semua pihak dalam dunia pendidikan — terutama para pendidik — bertanggung jawab membangun sistem sekolah yang merata dan setara kualitasnya. Tidak boleh lagi ada sekolah favorit atau sekolah buangan. Pemerintah harus mulai dari pembenahan menyeluruh kualitas guru, mulai dari seleksi, pelatihan, hingga evaluasi kinerja. Tanpa itu, SPMB hanya akan jadi alat diskriminatif yang menyingkirkan anak-anak dari hak dasarnya untuk mendapatkan pendidikan,” tambahnya panjang lebar.

Kritik serupa juga datang dari kalangan orang tua murid yang mulai merasa cemas dengan sistem seleksi yang dinilai membebani anak-anak secara mental dan ekonomi.

Seorang ibu rumah tangga, Wati (43), orang tua dari siswa kelas 6 SD di Jakarta, menyatakan kekhawatirannya terhadap tren baru ini.

“Anak saya sekolah supaya jadi pintar, kalau sudah pintar, kenapa harus dites lagi untuk masuk SMP? Sekarang malah banyak guru yang menyarankan ikut les tambahan di luar sekolah, yang tentu saja bayar. Ini gimana, guru di sekolah sudah digaji tapi tetap menyuruh murid les di luar. Apa mereka nggak percaya dengan kemampuan mereka sendiri? Atau ini ada kerja sama dengan tempat les? Ini bikin kami orang tua makin bingung dan terbebani,” ungkap Wati dengan nada gusar.

Ia pun mempertanyakan tujuan pendidikan jika akses ke jenjang berikutnya harus melewati tes akademik yang sulit.

“Kalau begini caranya, sekolah hanya akan jadi tempat saringan, bukan pembinaan. Harusnya negara hadir untuk memastikan semua anak bisa sekolah, bukan malah disaring dan dibatasi,” tambahnya.

Polemik ini menunjukkan bahwa reformasi pendidikan tidak bisa hanya mengandalkan sistem baru tanpa membenahi akar persoalan yang lebih mendasar, yaitu pemerataan kualitas pengajar, fasilitas, dan kurikulum di seluruh pelosok Indonesia.

Catatan Redaksi:
SPMB, jika tetap dipaksakan, perlu dikaji ulang dengan melibatkan semua pemangku kepentingan: guru, siswa, orang tua, pakar pendidikan, dan pembuat kebijakan. Tanpa evaluasi menyeluruh dan perbaikan sistemik, kebijakan ini justru dapat memperdalam jurang ketimpangan pendidikan di Indonesia.
(Zakar)

Tags: ,

Baca Juga

Rekomendasi lainnya