Breaking News

Diam Saat Disapa, Abaikan Salam di Medsos Tanda Kemunduran Akhlak dan Krisis Peradaban

Liputan08.com — Fenomena mengabaikan salam, baik dalam pesan WhatsApp, media sosial, maupun dalam interaksi sehari-hari, semakin marak terjadi di tengah masyarakat modern. Padahal, dari sudut pandang agama, filosofi, dan etika sosial, sikap seperti ini dinilai sebagai bentuk kemunduran moral dan tanda krisis peradaban.

KH Achmad Yaudin Sogir, seorang ulama terkemuka sekaligus politisi yang dikenal vokal dalam persoalan sosial keagamaan, memberikan pandangan tajam di Gedung Dprd Kabupaten Bogor terkait perilaku ini . Menurutnya, mengabaikan salam bukan sekadar persoalan etika, tetapi mencerminkan kegersangan hati dan kemunduran nilai-nilai kemanusiaan.

“Salam itu bukan basa-basi, tapi syariat. Itu ajaran langsung dari Rasulullah SAW. Kalau ada orang mengucapkan salam, wajib hukumnya dijawab, baik secara lisan maupun tulisan, termasuk di WhatsApp atau media sosial,” tegas KH Achmad Yaudin Sogir.Rabu (11/6/2025)

Ia mengutip hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: “Sebarkanlah salam di antara kalian.” Menurutnya, salam adalah jembatan ukhuwah dan tanda kasih sayang sesama Muslim.

“Kalau orang mengabaikan salam, bahkan di WhatsApp tidak mau jawab, itu tanda kesombongan, tanda hati yang mulai beku. Dan ingat, dalam hadis yang lain disebutkan, orang yang tidak membalas salam bisa terjatuh pada dosa karena memutus tali silaturahmi,” lanjutnya.

Dalam Islam, menjawab salam itu bukan pilihan, tetapi kewajiban. KH Achmad Yaudin menegaskan, ketika seseorang mengabaikan salam baik secara sengaja atau karena ego pribadi, sesungguhnya ia sedang menanamkan jarak sosial dan membangun tembok pemisah dengan saudaranya.

Dari sisi filsafat sosial, KH Achmad Yaudin Sogir memaparkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang hakikatnya tidak bisa hidup sendiri. Salam dan sapaan adalah bentuk pengakuan atas eksistensi orang lain.

“Ketika kita cuek disapa, atau diam saja saat membaca salam di medsos, kita sebenarnya sedang mengingkari eksistensi orang lain. Dalam filsafat eksistensialisme, itu artinya kita mengerdilkan makna keberadaan manusia lain dalam kehidupan kita,” ujar KH Achmad Yaudin.

Menurutnya, dalam budaya Timur, khususnya di Indonesia, sapaan adalah wujud penghormatan dan keramahan. Mengabaikan salam dan sapaan adalah tanda pudarnya nilai-nilai luhur bangsa.

“Orang yang tidak menjawab salam, atau acuh dalam tegur sapa, pada dasarnya sedang membunuh sisi kemanusiaannya sendiri secara perlahan. Mereka memutus aliran energi positif dalam interaksi sosial. Itu gejala krisis peradaban yang harus kita waspadai,” ungkapnya.

Secara akademis, KH Achmad Yaudin Sogir melihat fenomena ini sebagai bentuk krisis komunikasi akibat pola hidup individualistik yang semakin menonjol di era digital.

“Teknologi mempercepat komunikasi, tapi sekaligus mempercepat kehampaan sosial. Banyak orang yang membaca salam di WA atau media sosial, tapi malas menjawab. Ini adalah gejala communication breakdown, dimana orang semakin terputus satu sama lain secara emosional,” jelasnya.

Ia menilai, budaya ‘read doang’ alias membaca tanpa merespon, jika terus dibiarkan, akan melahirkan generasi yang dingin secara empati dan miskin dalam interaksi sosial yang bermakna.

“Kalau dibiarkan, masyarakat kita akan terjebak dalam budaya acuh tak acuh. Lama-lama orang tidak lagi peduli pada sesamanya. Ini berbahaya, karena bangsa yang besar dibangun dari masyarakat yang saling menyapa dan saling peduli,” tambah KH Achmad Yaudin.

KH Achmad Yaudin Sogir mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk kembali menghidupkan budaya salam, baik di dunia nyata maupun di ruang digital.

“Jangan sampai kita jadi orang yang terlihat hidup, tapi mati hati. Balaslah salam, jawab sapaan. Jangan menjadi generasi yang membiarkan akhlak runtuh hanya karena ego dan kesombongan di balik layar handphone,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa membalas salam bukan hanya soal etika, tetapi bagian dari ibadah yang mendatangkan keberkahan.

“Kalau tidak bisa memberi, minimal jangan menolak. Kalau tidak bisa membantu, minimal jangan menyakiti. Kalau tidak bisa hadir secara fisik, minimal balaslah salam. Itulah akhlak seorang Muslim sejati,” tutup KH Achmad Yaudin Sogir.
(Zakar)

Tags: ,

Baca Juga

Rekomendasi lainnya